PENDAHULUAN
Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistami.
Sejak itu secara luas digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi.Pada umumnya antihistamin yang beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini disebut antihistamin (AH1) klasik.
Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping,mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang.Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah. Termasuk dalam AH1 non sedatif ini adalah :
1. Terfenidin
Merupakan suatu derivat piperidin, struktur kimia. Terfenidin diabsorbsi sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam pemberian. Mempunyai mula kerja yang cepat dan lama kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin diekskresi melalui faeces (60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23 jam. Efek maksimum telah terlihat sekitar 3-4 jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60 mg diberikan 2 X sehari.
2. Astemizol
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol, struktur kimia. Astemizol pada pemberian oral kadar puncak dalam darah akandicapai setelah 1 jam pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu paruh 18-20 hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif dan tidak aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat, terdapat dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6% obat ini dalam urine. Terikat dengan protein plasma sekitar 96%.
3. Mequitazin
Merupakan suatu derivat fenotiazin, struktur kimia lihat Gbr.1. Absorbsinya cepat pada pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 6 jam pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of action cepat, duration of action lama. Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1 X sehari (malam hari).
4. Loratadin
Adalah suatu derivat azatadin, struktur kimia Gbr. 1. Penambahan atom C1 meninggikan potensi dan lama kerja obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada pemberian 40 mg satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak berbeda setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini di distribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif
secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.
Sejak itu secara luas digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi.Pada umumnya antihistamin yang beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini disebut antihistamin (AH1) klasik.
Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping,mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang.Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah. Termasuk dalam AH1 non sedatif ini adalah :
1. Terfenidin
Merupakan suatu derivat piperidin, struktur kimia. Terfenidin diabsorbsi sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam pemberian. Mempunyai mula kerja yang cepat dan lama kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin diekskresi melalui faeces (60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23 jam. Efek maksimum telah terlihat sekitar 3-4 jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60 mg diberikan 2 X sehari.
2. Astemizol
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol, struktur kimia. Astemizol pada pemberian oral kadar puncak dalam darah akandicapai setelah 1 jam pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu paruh 18-20 hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif dan tidak aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat lambat, terdapat dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal bukan alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6% obat ini dalam urine. Terikat dengan protein plasma sekitar 96%.
3. Mequitazin
Merupakan suatu derivat fenotiazin, struktur kimia lihat Gbr.1. Absorbsinya cepat pada pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 6 jam pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of action cepat, duration of action lama. Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1 X sehari (malam hari).
4. Loratadin
Adalah suatu derivat azatadin, struktur kimia Gbr. 1. Penambahan atom C1 meninggikan potensi dan lama kerja obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24 jam. Pada pemberian 40 mg satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak berbeda setiap harinya hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini di distribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif
secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu. Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.
DEFINISI
Antihistamin merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan, karena antihistamin adalah obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi penyakit alergi seperti rhinitis,urtikaria,pruritus,dan lain-lain. Walaupun selama ini ahtihistamin dianggap sebagai obat yang cukup aman, namun efek samping sedasi (rasa mengantuk) menyebabkan penurunan daya tangkap, terutama pada antihistamin generasi pertama, sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu, untuk penanganan penyakit alergi gunakan antihistamin yang aman dan efektif.
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
Terdapat beberapa jenis antihistamin, yang dikelompokkan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamin.
1. Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
2. Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
3. Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
4. Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.
PENGGUNAAN ANTIHISTAMIN (AH1) NON SEDATIF
AH1 non sedatif mempunyai efek menghambat kerja histamin terutama diperifer, sedangkan di sentral tidak terjadi karena tidak dapat melalui sawar darah otak. Antihistanin bekerja dengan cara kompetitif dengan histamin terbadap reseptor histamin pada sel, menyebabkan histamin tidak mencapai target organ. AH1 non sedatif umumnya mempunyai efek antialergi yang tidak berbeda dengan AH1 klasik. Beberapa peneliti melaporkan bahwa untuk penderita seasonal
rhinitis alergika. terfenidin bekerja lebih cepat (1-3 jam) dari astemizol 1-6 hari karena itu untuk penyakit ini astemizol dianjurkan oleh mereka untuk profilaktik. Loratadin dan Mequitazin mempunyai mula kerja dan efektivitas yang sama dengan terfenidin. Diantara AH1 non sedatif Mequitazin yang paling tidak spesifik, karena masih mempunyai efek antikolinergik.
Efek terhadap "psyvhomotor performance" dari terfenidin, asetemizol, loratadin dari berbagai penelitian menyatakan tidak dijumpai kelainan (2,3,5). Pada reaksi wheal dan flare, pemberian per oral terfenidin 60 mg menunjukkan efek hambatan 1 jam setelah pemberian, efek maksimum 3-4 jam dan lama kerja 8-12 jam sesudah pemberian. Pada loratadin respon wheal akan ditekan pada pemberian 1-2 jam. (Batenhorst et al 1986). Untuk pemberian jangka panjang dan untuk penderita yang pekerjannya memerlukan kewaspadaan misalnya pengemudi mobil lebih sesuai diberi AH1 non sedatif, karena efek sedasi dan atltikolinergik dari AH1 klasik akan mengganggu penderita. Krause dan Shuter 1985 mendapat hasil astemizol lebih baik pada penggunaan jangka panjang terhadap urtikaria kronik dibandingkan dengan chlorfeniramin. Ferguson et al mendapatkan hasil yang bermakna dari perbandingan terfenidin dengan plasebo dalam menurunkan skor itch dan wheal. Loratadin mengurangi sistem chronic idiopathic urticaria dari pada plasebo. Untuk pengobatan seasonal allergic rhinitis (SAR) telah dilakukan beberapa uji klinik antara lain Katelaris membandingkan loratidin dengan azatadin pada 34 penderita dan mendapatkan efek kedua obat sama baiknya, tetapi loratadin kurang efek sampingnya. Pemberiann kombinasi 5 mg loratadin clan 120 mg pseudoefedri 2X sehari untuk pengobatan SAR memberikan hasil bai. Pengobatan rinitis alergik prineal dengan 10 mg loratadin 1X sehari dan terfenidin 60 mg 2X sehari, selama 4 minggu jelas lebih baik dari plasebo dalam menurunkan total symptom scores (TSS). Berbeda dengan AH1 klasik, AH1 non sedatif dengan obat-obat diazepam dan alkohol, tidak ada interaksi potensial efek sedasi (2,3,5). Takhipilaksis tidak dijumpai pada 3 AH1 non sedatif . Penggunaan yang lama dari astemizol akan menambah nafsu makan dan berat badan .
rhinitis alergika. terfenidin bekerja lebih cepat (1-3 jam) dari astemizol 1-6 hari karena itu untuk penyakit ini astemizol dianjurkan oleh mereka untuk profilaktik. Loratadin dan Mequitazin mempunyai mula kerja dan efektivitas yang sama dengan terfenidin. Diantara AH1 non sedatif Mequitazin yang paling tidak spesifik, karena masih mempunyai efek antikolinergik.
Efek terhadap "psyvhomotor performance" dari terfenidin, asetemizol, loratadin dari berbagai penelitian menyatakan tidak dijumpai kelainan (2,3,5). Pada reaksi wheal dan flare, pemberian per oral terfenidin 60 mg menunjukkan efek hambatan 1 jam setelah pemberian, efek maksimum 3-4 jam dan lama kerja 8-12 jam sesudah pemberian. Pada loratadin respon wheal akan ditekan pada pemberian 1-2 jam. (Batenhorst et al 1986). Untuk pemberian jangka panjang dan untuk penderita yang pekerjannya memerlukan kewaspadaan misalnya pengemudi mobil lebih sesuai diberi AH1 non sedatif, karena efek sedasi dan atltikolinergik dari AH1 klasik akan mengganggu penderita. Krause dan Shuter 1985 mendapat hasil astemizol lebih baik pada penggunaan jangka panjang terhadap urtikaria kronik dibandingkan dengan chlorfeniramin. Ferguson et al mendapatkan hasil yang bermakna dari perbandingan terfenidin dengan plasebo dalam menurunkan skor itch dan wheal. Loratadin mengurangi sistem chronic idiopathic urticaria dari pada plasebo. Untuk pengobatan seasonal allergic rhinitis (SAR) telah dilakukan beberapa uji klinik antara lain Katelaris membandingkan loratidin dengan azatadin pada 34 penderita dan mendapatkan efek kedua obat sama baiknya, tetapi loratadin kurang efek sampingnya. Pemberiann kombinasi 5 mg loratadin clan 120 mg pseudoefedri 2X sehari untuk pengobatan SAR memberikan hasil bai. Pengobatan rinitis alergik prineal dengan 10 mg loratadin 1X sehari dan terfenidin 60 mg 2X sehari, selama 4 minggu jelas lebih baik dari plasebo dalam menurunkan total symptom scores (TSS). Berbeda dengan AH1 klasik, AH1 non sedatif dengan obat-obat diazepam dan alkohol, tidak ada interaksi potensial efek sedasi (2,3,5). Takhipilaksis tidak dijumpai pada 3 AH1 non sedatif . Penggunaan yang lama dari astemizol akan menambah nafsu makan dan berat badan .
MEKANISME KERJA
Antihistamin bekerja dengan cara menutup reseptor syaraf yang menimbulkan rasa gatal, iritasi saluran pernafasan, bersin, dan produksi lendir (alias ingus). Antihistamin ini ada 3 jenis, yaitu Diphenhydramine, Brompheniramine, dan Chlorpheniramine. Yang paling sering ditemukan di obat bebas di Indonesia adalah golongan klorfeniramin (biasanya dalam bentuk klorfeniramin maleat).
Antihistamin menghambat efek histamin pada reseptor H1. Tidak menghambat pelepasan histamin, produksi antibodi, atau reaksi antigen antibodi. Kebanyakan antihistamin memiliki sifat antikolinergik dan dapat menyebabkan kostipasi, mata kering, dan penglihatan kabur. Selain itu, banyak antihistamin yang banyak sedasi. Beberapa fenotiazin mempunyai sifat antihistamin yang kuat (hidroksizin dan prometazin).
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki kefek antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik lokal
2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin sehinnga memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa histamin, indikasinya sama denfan AH 1
KONTRAINDIKASI
Hipersensitivitas dan glaucoma sudut sempit. Jangan digunakan pada bayi baru lahir dan premature. Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.
PERHATIAN
Pasien lansia lebih rentan terhadap efek antikolinergik yang merugikan dari antihistamin. Gunakan secara hati-hati pada pasien-pasien dengan obstruksi pylorus, hipertrofi prostat, hipertiroidisme, penyakit kardiovaskuler, atau penyakit hati berat. Gunakan secara hati-hati pada kehamilan dan laktasi.
IMPLIKASI KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Informasi Umum: Kaji gejala alergi (rhinitis, konjungtivitis, bersin) sebelum dan secara periodic selama terapi.
b. Pantau nadi dan tekanan darah sebelum dan selama terapi IV.
c. Kaji bunyi paru dan karakter sekresi bronkus. Pertahankan asupan cairan 1500-2000ml/hari untuk menurunkan viskositas secret.
d. Mual dan muntah : Kaji derajat mual dan frekuensi serta jumlah emesis bila kita memberikannya untuk mual dan muntah.
e. Kecemasan : Kaji status mental, alam perasaan dan tingkah laku bila di berikan untuk kecemasan.
f. Pruritus : Observasi karakter, lokasi dan ukuran daerah yang terkena bila diberikan untuk pruritus.
2. Diagnosis Keperawatan Potensial
a. Bersihkan jalan nafas tidak efektif (indikasi)
b. Resiko tinggi cedera (reaksi merugikan)
c. Kurang pengetahuan sehubungan dengan program pengobatan (penyuluhan pasien / keluarga)
3. Implementasi
a. Bila di gunakan untuk profilaksis mabuk perjalanan, berikan 30 menit dan lebih di sukai 1-2 jam sebelum pajanan terhadap keadaan yang dapat menimbulkan mabuk perjalanan.
b. Bila kita memberikan bersama dengan analgesic opiod (hidroksizin, prometazin) awasi ambulasi dengan ketat untuk mencegah cedera akibat peningkatan sedasi.
4. Penyuluhan Pasien / Keluarga
a. Informasikan pada pasien bahwa dapat terjadi rasa kantuk. Hindari mengendarai atau melakukan aktivitas lain yang memerlukan kewaspadaan sampai respons obat diketahui.
b. Mengantuk jarang terjadi pada penggunaan astemizol dan terfenadin.
c. Peringatkan pasien untuk menghindari penggunaan bersama alcohol atau depresan SSP.
d. Beritahu pasien bahwa hygiene oral yang baik, sering berkumur dengan air, dan permen karet atau permen rendah gula dapat mengurangi kekeringan mulut.
e. Instruksikan pasien untuk menghubungi dokter bila gejala menetap.
5. Evaluasi
Efektivitas terapi di tunjukkan dengan :
a. Penurunan Gejala Alergi
b. Pencegahan atau penurunan keparahan mual dan muntah
c. Berkurangnya kecemasan
d. Berkurangnya pruritus
e. Sedasi jika digunakan sebagai sedatif/ hipnotik.
ANTIHISTAMIN YANG TERDAPAT DALAM PEDOMAN OBAT UNTUK PERAWAT
1. Astemizol 8. Difenhidramin
2. Azatadin 9. Hidroksizin
3. Bromfeniramin 10. Loratidin
4. Klorfeniramin 11. Meklizin
5. Klemastin 12. Prometazin
6. Siproheptadin 13. Terfenadin
7. Dimenhidrinat 14. Triprolidin
EFEK SAMPING
Promethazine, antihistamin jenis fenotiazin yang digunakan secara luas karena sifat antimuntah dan penenang yang dimilikinya, telah dilaporkan menyebabkan agitasi, halusinasi, kejang, reaksi distonik, sudden infant death syndrome, dan henti napas. Efek samping ini umumnya lebih berat dan signifikan pada bayi, sehingga pabrik pembuatnya memperingatkan agar tidak diberikan pada anak di bawah usia 2 tahun. Namun, efektivitas promethazine sebagai sedatif (penenang) dapat disalahgunakan oleh orang tua untuk menangani anak yang berteriak-teriak. Antihistamin generasi kedua mempunyai efek samping antikolinergik lebih sedikit dan dianggap tidak menimbulkan efek sedatif pada anak dalam dosis terapi.
• Efek sedasi, dari hasil penelitian oleh perocek, dibandingkan difenhidramin 2x50 mg dengan loratadine dosis tunggal 20 mg. Hasilnya memperlihatkan efek sedasi difenhidramin lebih besar dibanding loratadine. Jadi loratadine tidak mempengaruhi kemampuan mengendarai, tingkat kewaspadaan siang hari dan produktifitas kerja. Juga loratadin menghilangkan gejala rhinitis alergi musiman secara efektif dan absorbsi oralnya sangat cepat serta memiliki masa kerja yang panjang, sehingga cukup diberikan sekali dalam sehari.
• Gangguan psikomotor yaitu gangguan dalam pekerjaan yang melibatkan fungsi psikomotor, merupakan masalah yang menjadi perhatian dalam terapi yang menggunakan antihistamin. Efek samping terlihat saat pasien melakukan kegiatan dengan resiko fisik seperti mengendarai mobil, berenang, gulat, atau melakukan pekerjaan tangan. Gangguan fungsi psikomotor adalah efek yang berbeda dari terjadinya sedasi (rasa mengantuk). Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa loratadin tidak mengganggu kemampuan mengendarai dan tidak memperkuat efek alkohol.
• Gangguan kognitif adalah gangguan terhadap kemampuan belajar, konsentrasi atau ketrampilan di tempat bekerja. Dari hasil penelitian memperlihatkan antihistamin generasi pertama terutama difenhidramin menyebabkan gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau ketrampilan di tempat kerja. Sedangkan loratadin meniadakan efek negative dari rhinitis alergi terhadap kemampuan belajar. Dengan menggunakan loratadin tampaknya memperbaiki kemampuan belajar anak, penderita rhinitis alergi.
• Efek kardiotoksisitas, antihistamin selama ini dianggap sebagai obat yang aman, tetapi sejak akhir tahun 80-an mulai muncul beberapa jenis antihistamin yang digunakan dengan dosis yang berlebihan. Sehingga dapat menyebabkan pasien yang menggunakan mengalami gangguan pada jantung (kardiotoksisitas). Namun dari hasil penelitian, loratadin merupakan antihistamin yang tidak berhubungan dari serangan kardiovaskuler yang membahayakan jiwa itu.
Untuk pasien yang aktif bekerja harus berhati-hati dalam menggunakan antihistamin, karena beberapa antihistamin memiliki efek samping sedasi (mengantuk), gangguan psikomotor,dan gangguan kognitif. Akibatnya bila digunakan oleh orang yang melakukan pekerjaan dengan tingkat kewaspadaan tinggi sangat berbahaya.Untuk itu pasien yang aktif bekerja sebaiknya gunakan antihistamin yang aman dan efektif seperti loratadin, sudah terbukti tidak menimbulkan sedasi, tidak mengakibatkan terganggunya fungsi psikomotor dan fungsi kognitif. Juga terbukti aman tidak menyebabkan kardiotoksisitas dan efektif karena cukup diminum 1x sehari, karena memiliki masa kerja yang panjang serta diabsorbsi secara cepat.
Antihistamin Generasi Pertama:
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis
vena pada sisi injeksi (IV prometazin)
3. Sistem Saraf Pusat – drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi
4. Gastrointestinal – epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
5. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
6. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)
Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga:
1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
2. SSP* – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi
3. Respiratori** – mulut kering
4. Gastrointestinal** – nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)
*Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. **Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama.
DAFTAR PUSTAKA
1.Judith Hopfer Deglin dan April Hazard Vallerand.2004.Pedoman Obat Untuk Perawat:Jakarta:EGC
2. Hoan tjay,tan dan rahardja,kirana.1978.obat-obat penting khasiat,penggunaan dan efek-efek sampingnya.Jakarta:PT Elex Media Komputindo
3. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2007. farmakologi dan terapi edisi 5.Jakarta: Balai Penerbit FKUI4. Bertramg,Katzung.1997.Farmakologi Dasar dan Klinik Ed 6.Jakarta : EGC
5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3405/1/08E00605
6. http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/farmasi/F_204_1860028/F_204_Bab%20V
7. http://www.farklin.com/images/multirow3fdd269e975ed